Cerpen oleh A S Oktriwina, SMA N 1 Padang
“Klub fotografi? Di Bandung ini?” dahi Kristal berkenyit. Rizal mengangguk, “memang nggak populer sih, soalnya masih baru. Tapi anggotanya banyak yang udah pro. Kamu bisa belajar banyak sama mereka” terangnya. Kristal hanya mendengarkan sambil menyantap steak iga yang dipesannya.
“Aku kenal dengan salah satu anggotanya. Aku bisa kenalkan dia ke kamu kalo kamu mau” sambungnya.
“Mau kak! Mau banget!” sahut Kristal antusias. Rizal tertawa, “Namanya Aulia. Satu kampus denganku. Kalo kamu mau ketemu sama dia, kita ketemuan di café ini besok” Mata Kristal berbinar. Bergabung di klub fotografi dan merintis karir sebagai fotografer professional memang sudah jadi impiannya sejak lama. Dan sekarang impian itu akan terwujud.
“Beneran kak? Sip! Di café ini jam 1 seperti biasa kan?” tanya Kristal. Rizal mengangguk, menyeruput lemon tea yang tersisa dari gelasnya. “Be ontime ya. Kamu suka ngaret belakangan ini” ledeknya. Kristal tertawa, “belakangan sibuk les kak. Makanya jadi susah ontime” terangnya sambil beranjak meninggalkan kursi. “Aku cabut duluan ya kak. Ada les” pamitnya. “Aku anter ya?” tawar Rizal. Kristal hanya mengangguk.
***
Kristal terdiam, wajahnya kusut dan bekas airmata masih terlihat jelas di pipi tirusnya. Ia terus memeluk boneka beruang kesayangannya dengan tangan kiri sementara tangan kanannya menggenggam erat handphonenya. Di layarnya tertera nama kontak yang akan dipanggilnya, ‘Kak Rizal’. Kristal menghela napas panjang sebelum memencet tombol panggil pada handphonenya.
“Halo, Kristal?” terdengar suara lelaki di seberang sana, suara yang sangat akrab di telinga Kristal. “Kak, aku.. aku kayaknya nggak jadi gabung ke klub fotografi itu kak” airmata kembali menggenang kala Kristal berbicara. Dari seberang, terdengar suara desahan panjang Rizal, “kenapa?” Kristal mendesah, ia membenci alasan ini. “Ayah nggak ngizinin aku kak. Katanya, calon dokter nggak boleh ikut klub fotografi” kini airmatanya mengalir kembali. Ia bisa mendengar desahan panjang Rizal dari ujung sana, terdengar kesal dan putus asa.
“Lalu sekarang gimana?” tanya Rizal. “Tetap lanjut ikut klub fotografi itu atau nggak? Semuanya terserah kamu” Kristal mendesah, putus asa. “Nggak tau deh kak, aku pikirin dulu. Nanti aku kabarin lagi”
“Yah, terserah kamu. Lebih baik sekarang kamu pikirin aja baik-baik” Kristal tersenyum, namun tentu saja Rizal tak bisa melihatnya. “Ya, akan kupikirkan” jawabnya. “Sudahlah, tidur sana. Sudah larut. Nanti kutu ranjang menggigitmu” Kristal tergelak, inilah yang ia suka dari sepupunya yang hanya beda setahun darinya. Humor disaat ia benar-benar suntuk. “Iyaaa. Thanks kak, good night” ucapnya sebelum memutuskan sambungan telepon.
Sekarang bagaimana, pikirnya. Kristal terus memikirkan berbagai kemungkinan dan resiko yang akan ia hadapi bila tetap pada pendiriannya, mengikuti klub fotografi. Kristal terus berpikir hingga tertidur. Namun tekadnya telah bulat, sebulat bakso sapi kegemarannya.
***
Kristal mengaduk-aduk capuccino sambil melirik arlojinya sesekali. Setengah dua, batinnya. Kristal menyeruput capuccino yang sudah tinggal setengah. Bosan, ia mengeluarkan BBnya dan mulai berselancar di dunia maya. Membuka facebook dan twitter untuk sekedar mengusir rasa bosan.
“Hoi! Uda nunggu lama?” Kristal mendongak, dihadapannya ada Rizal yang tersenyum lebar dan seseorang di belakangnya, tampak tersenyum lembut. Kristal hanya diam, menyeruput habis sisa cappuccino.
“Kok diem aja? Sori deh aku telat. Tadi ada kuliah tambahan. Oya, kenalin nih, ini Aulia, temen kuliahku” Kristal menatap lelaki yang tegak di samping sepupunya itu. “Hai, panggil Aul aja” sahut Aulia sambil mengulurkan tangan. Kristal tersenyum, menyambut uluran tangan Aulia “Kristal”
“Uda mesen?” tanya Rizal. Kristal mengangguk sambil memainkan cangkir capuccino yang sudah kosong. Rizal terkekeh, “Sori deh. Mau mesen lagi nggak? Lu Ul? Mau pesen apa?” tanyanya sambil membuka daftar menu. Aulia menjulurkan kepalanya, melihat sekilas daftar menu di tangan Rizal. “Gue milkshake coklat aja” ujarnya. “Kamu Kris?” tanya Rizal. “Lemon tea aja”
Rizal mengangkat tangannya memanggil pelayan. Setelah pelayan datang, Rizal menyebutkan pesanan mereka, dua gelas lemon tea, segelas milkshake coklat, dan sepiring ketang goreng.
“So, uda yakin mau ikut klub fotografi?” goda Rizal. Kristal mengangguk, tampak sangat bersemangat. “Tell me more about it” Rizal tergelak. “Nih, uda ada ahlinya” katanya sambil melirik Aulia, “tanya-tanya gih sana” Kristal hanya memandang penuh harap pada Aulia. Aulia yang sedari tadi diam, tak ayal menjadi salting ditatap seperti itu oleh gadis yang baru dikenalnya.
“Eh, yah, klub fotografi kita aktifitasnya ngumpul, cari objek bidikan, pelatihan untuk fotografer pemula, yah, semacam itu deh” terangnya. Mata Kristal berbinar senang, inilah yang dicarinya! “Trus kalo mau gabung gimana kak?” tanyanya. “Ya datang aja, nggak ada istilah masuk dan keluar kok di klub ini. Kamu tinggal datang dan ikuti kegiatannya aja” Kristal semakin senang, berbagai pertanyaan terlontar dari mulutnya. Dan tentu saja, Aulia dengan senang hati menjawabnya. Saking serunya, mereka bahkan tak sadar Rizal masih memperhatikan mereka sambil mencomoti kentang goreng yang sudah disajikan pelayan sedari tadi.
“Ini kentang goreng gue abisin ya?” celetuknya. Kristal dan Aulia terdiam, menatap Rizal yang masih anteng menyantap kentang gorengnya. “Eh, semprul lu. Bagi bagi dong” protes Aulia. Rizal tergelak, “makanya jangan ngomong berduaan aja, gue dikacangin” ledeknya. Namun ledekannya sukses membuat pipi Kristal dan Aulia memerah. Rizal tertawa keras, “yasudah, pulang yuk. Uda sore gini. Ul, lu pulang sendiri ya, gue mau antar Kristal” Aulia mengangguk, “See you on club’s meeting” pamitnya pada Kristal.
***
Kristal menatap gugup kumpulan fotografer yang tengah berkumpul di lapangan Gasibu, disebelahnya Aulia tersenyum melihat tingkahnya. “Tenang aja, mereka nggak makan manusia kok” kelakarnya. Kristal memanyunkan bibirnya, mendelik kesal kepada teman sepupunya itu.
“Yakin nih, nggak papa aku main masuk aja?” tanyanya. Aulia tergelak, “ya nggak papa lah. Kami malah seneng ada tambahan anggota baru. Yuk, gabung” Kristal mengangguk, manut.
“Guys! Kenalin, ini anggota baru kita, Kristal. Kristal, ini anggota dari klub fotografi kita. Delon, Nico, Friska, Michy, Brian, Raihan, Nick, dan yah, aku sendiri” Semua anggota klub melambaikan tangannya dan ber-say hi pada Kristal. “Kirain anggotanya cowok semua, ternyata enggak” komennya.
“Ya nggak lah. Cewek atau cowok sama aja, asal jangan banci aja” kelakar Michy. “Tapi kita senang, ada cewek yang mau gabung di klub kita. Dulu cuma ada gue dan Friska doang yang cewek” sambungnya. Kristal tersenyum lega, merasa nyaman mengetahui ada cewek lain yang juga menyukai fotografi, sama sepertinya. Tak perlu menunggu waktu lama, dirinya telah membaur dengan anggota klub fotografi lainnya.
***
Sudah sebulan Kristal bergabung di klub fotografi, dan sudah sebulan pula ia dekat dengan Aulia, teman dekat sepupunya. Dan selama itu pula ia merasakan getaran lain dalam hatinya, entah mengapa.
“Lo deg-degan mulu tiap ketemu dia?” Kristal mengangguk. “Kalo dia deket-deket ama lo, lo berasa jantung lo bakalan copot?” Kristal mengangguk lagi, “Kok lo tau sih Yi?” Sahabatnya, Ayi tersenyum misterius. “I got it! Lo naksir dia!” tebaknya.
Kristal membulatkan matanya, kaget. “Naksir?” Ayi mengangguk girang, “akhirnya, gue tau lo normal Kris, lo cuma belum pernah jatuh cinta” Kristal menggeleng cepat. “Nggak mungkin!” sangkalnya. “Masa gue naksir kak Aul sih, ngaco abis lu” Ayi tersenyum simpul, “love is blind honey, cinta datang kapan aja, dimana aja, pada siapa aja, kalo cupid uda bertindak, nenek lampir juga bisa jatuh cinta”
“Ngaco!” gerutu Kristal, berusaha menyangkal, meski harus diakuinya, perkataan sahabatnya itu ada benarnya. “Sudahlah, aku pergi dulu. Kak Aul mengajakku mencari objek bidikan yang bagus di Lembang” Ayi hanya tersenyum penuh arti, “Dia ngajakin lo nge-date?” ledeknya. “It’s not a date, but a hunting”
“Coba cari fokus yang pas, kalo ini terlihat buram dan nggak fokus” komentar Aulia, Kristal mengarahkan kameranya lagi, mencari objek dengan fokus yang pas untuk dibidik. Jepret! Satu gambar lagi berhasil ia bidik. Kali ini Kristal tampak sangat puas dengan hasilnya.
“Coba aku lihat” Aulia mendekatkan dirinya kepada Kristal, melihat gambar yang terpampang dalam layar kamera Kristal. “Bagus, kamu fast learner ya?” pujinya. Tangannya bergerak meraih kamera Kristal agar dapat melihat gambar tersebut lebih jelas, hingga tanpa sengaja tangannya menyentuh tangan Kristal. “Eh, sori” ucapnya sambil menarik tangannya. Kristal mengangguk, menurunkan kameranya dan menunduk malu. Serempak, pipi mereka merona merah dan jadi salah tingkah. “Kita pulang aja yuk, uda makin sore” kata Aulia. Kristal mengangguk, menjajari langkah Aulia yang bergerak meninggalkan taman. Senja ini di taman stroberi Lembang, Kristal merasakan hatinya bergetar aneh.
***
Kristal membuka pintu rumahnya perlahan, agar tak ada yang mendengarnya pulang. Hari sudah semakin larut saat ia kembali. Ia tahu ayahnya akan marah jika tau ia pulang larut, apalagi jika ayahnya tahu ia pergi ke Lembang untuk memotret.
“Dari mana saja kamu?” Kristal terlonjak kaget. Dihadapannya, ada ayahnya yang tampak marah sekaligus lega. “A-aku… aku dari rumah teman” jawabnya tergagap. “Dari rumah teman? Bawa kamera? Kamu pergi memotret lagi? Iya?” Kristal menunduk, membantah perkataan ayahnya sama saja masuk ke kandang singa, membuatnya semakin murka.
“Sudah berapa kali ayah bilang, jangan pergi memotret lagi, apalagi sampai masuk klub fotografi seperti yang kamu bilang dulu. Mau jadi apa kamu? Fotografer? Kamu itu calon dokter Kristal, bukan fotografer!” cecar ayahnya. Kristal ingin sekali membantah, tapi ia hanya diam. “Sekarang, masuk kamar! Dan kameramu ayah sita! Kamu tidak boleh memotret lagi. Selamanya!” Airmata Kristal menetes deras. Ia tidak bisa lepas dari kamera kesayangannya, fotografi adalah hidupnya.
Kristal menumpahkan kekecewaannya di kamar. Menangis dan merutuki keputusan ayahnya. Ia ingin berontak, mengikuti kata hatinya. Tapi ia tahu, membantah ayahnya malah membuatnya semakin sulit. Dalam hening, bulir demi bulir airmatanya jatuh melepaskan segala emosinya.
***
Aulia memainkan gitarnya tak beraturan. Matanya menerawang jauh dari jendela kamar kosnya. Seakan teringat sesuatu, ia mengobrak-abrik tasnya dan mengambil sebuah kamera. Dengan penuh senyum diperhatikannya setiap foto yang tersimpan dalam memori kameranya
“Woi! Senyum-senyum sendiri, kesambet dimana lu?” Aulia mendongak, dihadapannya Rizal sudah berpakaian ala pembalap, lengkap dengan sebuah helm di tangannya. “Lo mau balapan lagi?” Rizal tersenyum lebar. Aulia menggeleng, “Mau sampai kapan Zal? Lu nggak tega liat sepupu lu diboongin mulu. Lagian, apa lu nggak takut. Balapan liar kan bahayanya banyak Zal” Rizal tersenyum, “Ini yang terakhir Ul, setelah itu gue bakal fokus total ama kuliah” ujarnya sambil berlalu. Tak lama, deru motor terdengar dari luar. Aulia mendesah, meneruskan lamunannya.
Deringan ponsel mengehentikan lamunannya, dengan malas ditempelkannya kotak kecil itu di telinganya. Namun serentetan kalimat mampu membuatnya berpindah tempat dari kosannya.
Aroma alkohol dan obat-obatan menyeruak ke permukaan. Decit roda menambah suasana mencekam. Aulia berlari diantara lorong-lorong yang di cat putih itu. Di ujung lorong tampak seorang gadis tengah menangis sambil menutup wajahnya. Disampingnya, ada seorang suster yang tengah menghiburnya.
“Kristal?” sapa Aulia. “Gimana keadaan Rizal?” Kristal menggeleng, mengusap sisa-sisa airmatanya. “Nggak tau kak, sejak tadi dokter belum keluar. Aku takut kak Rizal kenapa-napa kak” Kristal mulai terisak lagi. “Aku yakin dia nggak papa Kris, tenang aja” ucap Aulia menenangkan.
Pintu bercat putih itu bergerak, atau tepatnya digerakkan oleh seseorang, membuat Kristal dan Aulia menahan napas seketika. Seseorang berjas putih, berkalungkan stetoskop keluar dari pintu itu. Pada wajahnya tampak segurat raut sesal, membuat jantung Kristal dan Aulia semakin berpacu memompa darah.
“Kakak saya gimana dok?” tanya Kristal berharap cemas. Dokter muda itu melepas kacamatanya sebelum membuka mulut, “Maafkan saya, pendaharannya terlalu hebat dan dia kehilangan banyak darah. Kami tidak bisa menyelamatkannya” Seketika waktu terasa berhenti berputar bagi Kristal, ia limbung. Untunglah Aulia dengan sigap menangkapnya sebelum gadis itu jatuh menimpa tanah.
***
Aroma melati dan tanah basah menyeruak hidung para pelayat. Lantunan demi lantunan kalimullah mengiringi sang insan kembali ke peraduan abadinya. Isak tangis pun ikut mengantarnya menuju peristirahatan terakhirnya. Tak kecuali Kristal, matanya masih sembab bekas menangis semalam. Disampingnya Aulia berjalan sambil menunduk. Menyesali kepergian sahabatnya yang meninggal dengan cara yang sangat tidak diinginkannya, meninggal di arena balap liar.
Taburan bunga mengakhiri prosesi pemakaman Rizal. Para pelayat satu persatu menghilang, meninggalkan Kristal yang bersikukuh untuk tinggal sedikit lebih lama. Meski airmatanya telah mengering, namun raut sedih masih terlukis di wajahnya. Disampingnya, Aulia meremas tanah basah yang menutupi makam. Seolah tak rela sahabatnya pergi terlalu cepat.
“Kristal, sekarang uda sore banget. Kita pulang aja yuk” ajak Aulia. Kristal mengangguk, menjajari langkah Aulia yang mulai meninggalkan area pemakaman.
***
Kristal melingkari sebuah angka di kalendernya. Sudah sebulan, batinnya. Kristal membaca ulang surat yang ditulisnya, memastikan tak ada yang salah dalam tulisannya. Lama dibacanya kertas itu hingga akhirnya ia meletakkan kertas itu di atas kasur sebelum meloncat dari jendela kamarnya.
PRANG! “Astaghfirullah” ucap Aulia. Matanya menatap nanar gelas yang entah mengapa pecah sendirinya. Dirinya teringat akan mitos lama yang sering diucapkan ibunya. “Kalo ada gelas pecah, artinya ada orang terdekat kita yang meninggal” Keringat dingin mulai bercucuran. Dengan cepat disambarnya kunci motor sebelum melesat keluar.
Kristal menatap jurang di hadapannya. Menghela napas, berharap semua masalah akan selesai karenanya. Namun belum sempat dia menjatuhkan diri, sebuah tangan menahan dan menariknya menjauh dari jurang. “Kau gila ya?” bentak pemilik tangan itu. Kristal tersentak, mengenali suara yang membentaknya, suara yang sebulan ini tak pernah di dengarnya.
“Kamu berubah Kristal, handphonemu nggak pernah aktif, pertemuan rutin pun kamu nggak pernah hadir. Kamu menghilang. Dan sekarang kamu mau bunuh diri? Kamu mau bikin aku sakit jiwa?” Kristal tertegun, merenungi rentetan kata yang keluar dari mulut lelaki yang diam-diam dicintainya.
“Memangnya aku peduli!? Ayah sama ibuku saja nggak pernah peduli. Terus kenapa kakak harus peduli!?” Kristal tak kalah membentak. “Nggak ada yang ngertiin aku, nggak ada yang paham keinginanku, nggak ada yang peduli sama aku, nggak ada yang sayang aku, nggak..”
“Aku sayang kamu! Kamu ngerti nggak sih!?” bentakan Aulia kembali membungkam Kristal. “A-apa kata kakak tadi?”
“Aku sayang kamu Kristal, tolong jangan siksa aku seperti ini” ulang Aulia. Kristal terdiam, bukan karena bentakannya, namun karena kata yang diucapkan sahabat sepupunya itu. Apakah cintanya tak bertepuk sebelah tangan?
***
Padang, 5 January 2011
(Terima kasih untuk Aa’ Indra Permana, Kak Dwimas Anggoro, Kak Utami Irawati, dan Arief Rayyan Pratama yang terus memberiku suntikan semangat. Dan terima kasih yang sebesar besarnya untuk pembaca yang sudah meluangkan waktunya membaca cerpen saya yang sedikit tidak jelas ini)
DIMUAT DI SINGGALANG MASUK SEKOLAH EDISI RABU 12 January 2011
***